/ Kenapa Anak Kanker Mengalami Kebotakan?
Pernahkah melihat anak kanker mengalami kebotakan? Kenapa anak dengan kanker identik dengan kebotakan? Apakah hal tersebut menyurutkan kepercayaan diri anak di masa tumbuh kembangnya? bagaimana cara caregiver layaknya orang tua memberikan pengertian terhadap anak? dan apakah ada penanganan khusus ketika anak kanker mengalami kebotakan? Simak info selengkapnya melalui artikel berikut, ya!
Anak kanker sering mengalami kebotakan sebagai salah satu konsekuensi pengobatan kanker, seperti kemoterapi. Kemoterapi adalah pengobatan sistemik yang kerap dipilih untuk melawan kanker dengan memberikan obat ke dalam darah memulai infus. Kemoterapi dapat membunuh sel-sel kanker melalui pemberian infus ke pembuluh darah dan kerap menjadi media pengobatan yang efektif. Biasanya kemoterapi diberikan dengan rentang waktu tertentu.
Tak hanya sekadar membunuh sel kanker, kemoterapi juga kerap menargetkan sel sehat dan normal di dalam tubuh, terutama yang aktif membelah dengan cepat, seperti sel akar rambut, sel darah, dan sel pada saluran pencernaan. Kerusakan sel-sel "baik" ini dapat menyebabkan efek samping salah satunya kebotakan atau disebut dengan alopecia. Kebotakan dapat muncul beberapa minggu setelah pengobatan dimulai, juga membuat kulit kepala anak menjadi sensitif.
Baca Juga: Alopecia Areata, Kebotakan yang Seperti Apa?
Jika anak mengalami kebotakan atas dampak dari pengobatan kanker, orang tua bisa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan mengenai kebotakan yang dialami anak. Menurut National Cancer Institute, terdapat beberapa saran yang mungkin dapat diterapkan kepada anak kanker mengalami kebotakan.
1. Merawat rambut dengan lembut: jika masih terdapat sisa pertumbuhan rambut di kepala anak, orang tua dapat menggunakan sisir dengan gigi yang jarang untuk menyisir rambut anak. Hindari penggunaan hair dryer atau gel rambut yang dapat menyebabkan kerusakan pada kulit kepala anak. Jika anak diharuskan mencuci rambut, maka dapat menggunakan handuk yang lembut untuk mengeringkannya.
2. Lindungi kulit kepala anak: di masa pertumbuhannya, anak-anak biasa bermain di luar ruangan bersama teman-teman demi mengalami masa pembelajaran terbaik di usia tumbuh kembangnya. Berbeda dengan anak seusianya, anak kanker mengalami kebotakan mungkin lebih banyak terpapar sinar matahari ke kulit kepalanya. Oleh karena itu, orang tua bisa memberikan sunscreen atau topi agar kulit kepala anak tetap terlindung dari sinar matahari.
3. Dengarkan keluhan dan jaga komunikasi dengan anak: Anak bisa saja merasa marah, sedih, depresi, dan malu karena kebotakan yang terlihat tidak familiar dibanding dengan teman-teman seusianya. Disinilah peran orang tua penting untuk mendengarkan keluh kesah anak. Pastikan agar anak merasa didengarkan, dimengerti, dan didampingi agar tidak merasa melalui semuanya sendiri. Biarkan anak terbuka secara jujur dengan perasaannya.
Tak perlu khawatir, karena rambut anak dapat tumbuh kembali dalam periode waktu 1–4 bulan paska pengobatan. . Walaupun pada awal mula pertumbuhan rambut baru, rambut akan jadi lebih mudah patah. Namun seiring berjalannya waktu, rambut akan mulai tumbuh normal mungkin dengan bentuk sementar yang sedikit berbeda, lebih lurus/ikal dan lebih tebal/tipis. Pada akhirnya, rambut akan tetap kembali normal seperti biasa.
TENTANG PITA KUNING
Pita Kuning adalah yayasan filantropi bagi anak (usia 0-18 tahun) dengan kanker dari keluarga pra-sejahtera, hadir dengan misi untuk meningkatkan kualitas hidup dan memberikan layanan psikososial bagi anak dengan kanker beserta keluarganya. Setelah membantu 8.000+ anak sejak berdiri tahun 2007, Pita Kuning kini fokus memberikan pendampingan berkala dengan mekanisme keanggotaan (membership).
SUMBER
Artikel berjudul ‘Coping with Hairloss‘ oleh The American Cancer Society medical and editorial content team pada situs American Cancer Society (2020)
Artikel berjudul ‘Hair Loss (Alopecia) and Cancer Treatment‘ pada situs National Cancer Institute (2020)
Harris, B. (2021). KERONTOKAN DAN KEBOTAKAN PADA RAMBUT. Ibnu Sina: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan-Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, 20(2), 159-168.