/ Bitcoin Cetak Rekor Baru Rp2 Miliar, Apakah Tren Bullish Akan Berlanjut?
Jakarta, 17 Juli 2025 - Bitcoin kembali mencetak rekor harga tertinggi sepanjang masa dalam sepekan terakhir, seiring meningkatnya arus masuk ke ETF spot dan ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter oleh Federal Reserve (The Fed). Aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar ini sempat menyentuh level US$123.218 atau sekitar Rp2 miliar (kurs dolar AS Rp16.322, sebelum terkoreksi ringan ke kisaran US$118.422 (Rp1,93 miliar pada perdagangan Kamis (17/7).
Kenaikan harga Bitcoin yang konsisten sejak awal bulan Juli menjadi sinyal bahwa pasar kripto mulai memasuki fase pertumbuhan baru, didorong oleh dukungan kuat dari investor institusional dan perubahan dinamika makroekonomi global.
Lonjakan harga Bitcoin dalam sepekan terakhir salah satunya dipicu oleh arus masuk dana yang signifikan ke produk ETF spot Bitcoin yang diperdagangkan di AS. Menurut data Farside Investors, total arus masuk bersih ke ETF Bitcoin mencapai lebih dari US$7,8 miliar dalam 10 hari terakhir, mencatatkan salah satu periode pembelian institusional terbesar sejak ETF ini disetujui pada Januari 2025.
Produk ETF seperti BlackRock iShares Bitcoin Trust (IBIT) dan Fidelity Wise Origin Bitcoin Fund (FBTC) mencatat rekor harian arus masuk lebih dari US$1,3 miliar, menandakan meningkatnya permintaan dari investor besar yang ingin mendapatkan eksposur terhadap Bitcoin tanpa harus memegang aset dasarnya secara langsung.
“Tren ini menunjukkan pergeseran fundamental dalam struktur pasar Bitcoin. Kita mulai melihat arus masuk institusional yang kuat dan berkelanjutan, yang menjadi fondasi penting untuk reli jangka panjang,” ujar Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur.
Dari sisi teknikal dan data on-chain, sejumlah indikator memperkuat narasi bullish yang tengah berkembang. Cadangan Bitcoin di exchange global terus menyusut dan kini berada di level terendah sejak 2015. Berdasarkan laporan dari Glassnode, hanya sekitar 1,25% dari total suplai Bitcoin yang tersedia di bursa saat ini, menandakan bahwa investor lebih memilih menyimpan BTC untuk jangka panjang dibanding memperjualbelikannya dalam jangka pendek.
“Likuiditas yang makin tipis di exchange, ditambah dengan tingginya permintaan dari ETF, menciptakan tekanan beli yang besar dan mendongkrak harga. Ini adalah sinyal sehat bahwa reli ini dibangun di atas dasar yang kuat, bukan spekulasi semata,” lanjut Fyqieh.
Kondisi makroekonomi juga turut berkontribusi pada kenaikan harga Bitcoin. Meskipun inflasi AS masih di atas target, data terbaru menunjukkan tren moderasi, sehingga meningkatkan harapan bahwa The Fed akan mulai menurunkan suku bunga acuan pada kuartal ketiga tahun ini.
Para pelaku pasar saat ini memproyeksikan kemungkinan penurunan suku bunga pertama pada pertemuan FOMC bulan September, dengan probabilitas sekitar 65% menurut CME FedWatch Tool.
“Jika The Fed benar-benar mulai melonggarkan kebijakan moneternya, maka itu akan menjadi pemicu utama pergerakan aset berisiko, termasuk kripto. Biaya pinjaman yang lebih rendah akan membuka ruang lebih besar bagi investor institusional dan ritel untuk masuk ke pasar,” jelas Fyqieh.
Arah pergerakan harga Bitcoin dalam waktu dekat akan sangat bergantung pada sejumlah katalis utama, seperti perkembangan pemungutan suara di Kongres AS terkait rancangan undang-undang kripto, data penjualan ritel AS, serta tren aliran dana ke ETF spot Bitcoin.
Fyqieh mengungkap, jika terjadi kemunduran dalam pembahasan regulasi di Kongres, penjualan ritel AS menunjukkan pelemahan, The Fed kembali menyuarakan kebijakan bernada hawkish, dan arus keluar dari ETF meningkat, maka harga Bitcoin berpotensi mengalami koreksi menuju level US$115.000 atau sekitar Rp1,87 miliar.
Koreksi ini juga dapat mendorong harga menguji level support teknikal penting di 50-day Exponential Moving Average (EMA). Sebaliknya, apabila muncul dukungan bipartisan terhadap regulasi kripto, data ekonomi AS menunjukkan penguatan, dan The Fed menyampaikan retorika dovish disertai kelanjutan arus masuk ke ETF, maka Bitcoin berpeluang menguji kembali rekor harga tertinggi sebelumnya di US$122.057, bahkan melampauinya.
“Pasar sangat reaktif terhadap perkembangan makro dan kebijakan. Kombinasi arus dana besar dan momentum regulasi yang positif bisa menjadi bahan bakar bagi Bitcoin untuk terus menanjak. Namun sebaliknya, sinyal negatif bisa memicu koreksi cepat dalam waktu singkat,” ungkap Fyqieh.
Dengan melihat kombinasi arus masuk institusional, kelangkaan pasokan, dan sentimen makro yang positif, banyak analis memperkirakan bahwa Bitcoin berpeluang menembus target harga berikutnya di kisaran US$135.000 (Rp2,2 miliar) hingga US$150.000 (Rp2,4 miliar) dalam beberapa bulan ke depan.
Namun, Fyqieh menekankan pentingnya kehati-hatian di tengah dinamika pasar yang masih fluktuatif. “Kita sedang berada di fase penting. Jika ekspektasi terhadap suku bunga, regulasi, dan arus ETF tetap sejalan, Bitcoin punya ruang besar untuk naik. Tapi semua itu bergantung pada data dan keputusan kebijakan yang bisa berubah sewaktu-waktu,” tutupnya.