/ Danantara untuk Kemandirian Industri Baja Nasional
Berbeda dengan Inggris, Amerika Serikat mempertahankan kendali atas sektor baja melalui mekanisme yang lebih sistematis. Saat Nippon Steel hendak mengakuisisi U.S. Steel pada akhir 2023, pemerintah AS melakukan evaluasi dampak akuisisi terhadap kepentingan strategis dan keamanan nasional melalui Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS).
Setelah melalui kajian, pemerintah AS menyetujui akuisisi dengan syarat pemberian golden share, yang memberikan hak veto negara atas keputusan strategis. Pendekatan ini menegaskan bahwa sektor baja tidak hanya masalah bisnis, tetapi bagian dari kepentingan dan strategi negara.
Indonesia memang tidak memiliki lembaga seperti CFIUS di AS. Namun Indonesia kini memiliki instrumen yang tak kalah penting, yang dapat menjembatani peran negara dalam melindungi kepentingan strategis dan kedaulatan ekonomi nasional: Daya Anagata Nusantara (Danantara). Sebagai pengelola aset dan investasi strategis lintas sektor, Danantara memikul mandat besar untuk memperkuat hilirisasi, membangun daya saing industri, dan menciptakan kemandirian ekonomi. Tetapi hingga kini, sektor baja belum disebut secara eksplisit sebagai prioritas investasinya—padahal industri ini memegang peran yang sangat sentral dalam pembangunan nasional.
Dengan memperhatikan pengalaman Inggris dan Amerika Serikat, serta mempertimbangkan peran industri baja sebagai the mother of all industries, kehadiran negara dalam sektor ini menjadi keniscayaan. Danantara, sebagai entitas strategis baru yang dirancang untuk menyeimbangkan kekuatan pasar dengan kepentingan nasional, tidak boleh absen dalam membangun kembali industri baja Indonesia. Inilah saatnya Danantara mengambil peran.
Sejarah industrialisasi dunia menunjukkan bahwa kehadiran negara dalam industri baja merupakan strategi penting dalam membangun kekuatan industri nasional. Dari Inggris hingga Jepang, dari India hingga Tiongkok, hampir semua negara yang berhasil membangun basis industrinya pernah—dan dalam banyak kasus masih—memiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor baja. Dalam fase awal industrialisasi, negara hampir selalu hadir sebagai arsitek utama pembangunan kapasitas baja, karena sektor ini menyangkut banyak kepentingan sekaligus: pembangunan infrastruktur, penguatan manufaktur, stabilitas energi, hingga ketahanan militer.
Di Tiongkok, peran BUMN dalam industri baja tidak hanya besar, tetapi juga menentukan. Beberapa di antaranya bahkan menempati posisi teratas dalam daftar produsen baja terbesar
dunia. Sebanyak 13 BUMN masuk dalam daftar 50 produsen baja global—termasuk Baowu, Ansteel, dan HBIS. Perusahaan-perusahaan tersebut berfungsi sebagai instrumen negara untuk mengarahkan konsolidasi industri, mendominasi ekspor, dan menjaga stabilitas harga domestik. Dalam sistem industri baja Tiongkok, negara bukan sekadar regulator, melainkan aktor utama yang menentukan arah dan kebijakan industri.
India menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda. Dalam beberapa dekade terakhir, negara ini membangun kapasitas industrinya melalui BUMN seperti Steel Authority of India Limited (SAIL) dan Rashtriya Ispat Nigam Limited (RINL). Meskipun peran swasta terus tumbuh, BUMN tetap menjadi fondasi penting dalam penyediaan baja untuk proyek-proyek strategis dan pembangunan infrastruktur nasional. Pemerintah India secara konsisten mempertahankan peran negara melalui kepemilikan saham mayoritas, dukungan investasi, dan kebijakan protektif.
Bahkan dalam visi jangka panjangnya, India menargetkan peningkatan kapasitas baja nasional hingga 500 juta ton per tahun pada 2050, dengan BUMN tetap menjadi bagian dari tulang punggung industrinya.
Pentingnya peran BUMN dalam pembangunan industri juga tercermin dari pengalaman berbagai negara maju. Meskipun sebagian telah diprivatisasi, banyak di antaranya memulai pengembangan industrinya melalui kepemilikan negara di sektor baja. Jepang mendirikan Japan Iron and Steel Co. pada 1950-an untuk menopang rekonstruksi pascaperang. Korea Selatan mendirikan POSCO sebagai BUMN penuh pada 1968, yang kemudian menjadi jantung industrialisasi Korea. Inggris pernah memiliki British Steel Corporation yang terbentuk melalui nasionalisasi industri baja pada 1967, sebelum akhirnya diprivatisasi di era Thatcher. Jerman dan Prancis memiliki sejarah serupa, di mana negara hadir penuh saat membangun kapasitas industri dasar, dan baru mundur ketika kemandirian pasokan telah dicapai.
Berbeda dengan negara maju lainnya, Amerika Serikat tidak memiliki BUMN di sektor baja. Namun, sepanjang sejarah industrialisasinya, peran negara tetap sangat besar melalui regulasi dan kebijakan strategis. Lewat tarif impor, subsidi, dan lembaga seperti Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS), pemerintah AS secara aktif menjaga industri baja dari pengaruh asing yang dianggap membahayakan kepentingan nasional. Akuisisi U.S. Steel oleh Nippon Steel, yang sempat mendapat penolakan di era Presiden Biden dan kemudian disetujui oleh Presiden Trump dengan syarat pemberian golden share, menjadi contoh mutakhir bahwa negara tetap menjadi pengendali terakhir dalam sektor yang dianggap vital.
Pengalaman berbagai negara dalam melakukan pengembangan industri menunjukkan satu pola yang konsisten: kehadiran negara dalam industri baja merupakan prasyarat penting bagi pembangunan basis industri nasional yang tangguh. Negara selalu hadir sebagai pengendali, baik melalui kepemilikan langsung seperti BUMN, maupun melalui regulasi strategis. Lebih penting lagi, negara tidak seharusnya keluar dari sektor industri vital ini, bahkan setelah mencapai status industri maju. Sebab baja bukan hanya soal produksi, tetapi tentang kendali atas kepentingan dan kedaulatan nasional.
Dalam setiap tahap pembangunan ekonomi nasional, industri baja selalu menempati posisi yang fundamental. Baja bukan hanya bahan baku—ia merupakan syarat dasar bagi berdirinya infrastruktur, tumbuhnya industri manufaktur, berkembangnya sektor energi, serta berfungsinya sistem pertahanan. Dengan cakupan peran strategis yang sedemikian luas, tidak berlebihan bila baja disebut sebagai the mother of all industries.
Karakter baja sebagai enabling industry menjadikannya tidak tergantikan. Hampir seluruh proyek strategis negara—dari jalan tol, rel kereta, jembatan, pelabuhan, hingga pembangkit listrik dan fasilitas militer—bertumpu pada pasokan baja yang andal. Bahkan sektor-sektor prioritas pemerintah seperti transisi energi, kendaraan listrik, dan pemrosesan mineral strategis pun tidak mungkin berlangsung tanpa basis pasokan baja nasional yang kuat.
Selain berperan sangat penting bagi pertumbuhan industri lainnya, industri baja juga memiliki nilai ekonomi yang besar dan strategis. Laporan Oxford Economics (2019) mencatat bahwa setiap satu dolar nilai tambah dari sektor baja dapat mendorong penciptaan nilai ekonomi sebesar USD 2,50 di sektor lain. Setiap dua pekerja di industri baja mendukung 13 pekerjaan tambahan di sektor hulu dan hilirnya, menjadikan total sekitar 40 juta pekerja dalam rantai pasok global yang bergantung pada industri ini. Bahkan jika dihitung dengan pendekatan luas (broad measure), kontribusi industri baja mencapai USD 8,2 triliun atau setara 10,7% dari PDB global, serta menopang hingga 259 juta lapangan kerja di seluruh dunia.
Bagi Indonesia, dampak ekonomi dari penguatan industri baja sangatlah signifikan. Peningkatan kapasitas industri baja menjadi 100 juta ton per tahun pada 2045—sesuai visi Indonesia Emas— diperkirakan akan menciptakan dampak ekonomi senilai Rp 6.020 triliun, serta membuka hingga 12 juta lapangan kerja.
Selain dampak ekonomi yang sangat besar, nilai strategis industri baja juga terletak pada perannya dalam pertahanan dan kedaulatan nasional. Di banyak negara, baja diposisikan sebagai elemen vital dalam sistem pertahanan dan ketahanan. Kemandirian militer, logistik saat krisis, dan kemampuan tanggap darurat pada bencana semuanya bergantung pada pasokan baja dalam negeri yang dapat diandalkan. Karena itu, banyak pemerintahan—termasuk di negara-negara maju—tetap mempertahankan kontrol atas sektor ini, baik melalui BUMN maupun lewat kebijakan protektif dan mekanisme screening investasi strategis.
Bagi Indonesia, urgensi ini semakin jelas. Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, kapasitas baja nasional harus ditingkatkan dari sekitar 15 juta ton menjadi lebih dari 100 juta ton per tahun. Upaya ini membutuhkan investasi lebih dari USD 100 miliar serta strategi jangka panjang yang menjamin kepemilikan domestik, efisiensi rantai pasok, dan keberlanjutan industri. Danantara, sebagai instrumen baru negara dalam pengelolaan investasi strategis, perlu menempatkan industri baja sebagai salah satu sektor prioritas. Tanpa keterlibatan aktif Danantara, transformasi struktural menuju kemandirian industri akan sulit terwujud.
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk didirikan pada tahun 1970 sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam membangun fondasi industrialisasi nasional. Di tengah situasi pasca-konfrontasi
dan awal pembangunan Orde Baru, Krakatau Steel hadir sebagai simbol kemandirian ekonomi Indonesia. Sebagai satu-satunya produsen baja terintegrasi milik negara, perusahaan ini memasok kebutuhan dalam negeri untuk pembangunan infrastruktur, manufaktur, transportasi dan pertahanan nasional.
Selama lebih dari lima dekade, Krakatau Steel terus bertahan di tengah berbagai tekanan struktural yang kompleks—mulai dari keterbatasan bahan baku domestik, kenaikan harga energi, serbuan baja impor murah, hingga berbagai praktik perdagangan curang. Salah satu akar masalah utama dari kondisi ini adalah kelebihan kapasitas global dan praktik subsidi besar-besaran di negara produsen seperti Tiongkok, yang membuat produk baja asing masuk ke pasar domestik dengan harga di bawah struktur biaya produsen dalam negeri.
Tantangan struktural yang dihadapi Krakatau Steel tidak dapat diatasi hanya melalui pendekatan korporat. Sebagai BUMN yang mengemban mandat strategis, Krakatau Steel memerlukan dukungan kebijakan industri yang terintegrasi—termasuk perlindungan dari praktik perdagangan curang, jaminan pasar melalui belanja pemerintah, akses terhadap bahan baku, kemitraan bisnis, pembiayaan modal kerja kompetitif, serta pendanaan untuk pengembangan kapasitas dan daya saing. Tanpa dukungan tersebut, posisi Krakatau Steel akan terus rentan dalam menghadapi persaingan global yang tidak seimbang.
Dalam menjawab tantangan struktural yang dihadapi Krakatau Steel selaku BUMN, kehadiran Danantara membuka peluang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagai pengelola investasi negara yang memiliki mandat untuk memperkuat sektor strategis, Danantara dapat mengambil peran signifikan dalam mendorong modernisasi dan ekspansi Krakatau Steel. Melalui skema investasi strategis, penguatan struktur permodalan, serta fasilitasi integrasi hulu-hilir— mulai dari penguasaan sumber daya bahan baku hingga pengembangan produk bernilai tambah—Danantara berpotensi menjadi mitra transformatif bagi Krakatau Steel.
Peran Danantara akan menjadi semakin penting mengingat target pembangunan industri baja nasional mencapai 100 juta ton pada 2045. Mustahil membangun kapasitas sebesar itu hanya mengandalkan mekanisme pasar bebas atau investasi swasta asing. Diperlukan aktor nasional yang memiliki ketahanan jangka panjang, otoritas strategis, dan dukungan negara untuk mengarahkan investasi ke sektor-sektor yang tidak selalu menarik secara komersial dalam jangka pendek, tetapi krusial bagi kedaulatan industri jangka panjang. Krakatau Steel adalah kandidat utama untuk memainkan peran tersebut—namun hanya jika didukung secara sistematis, termasuk melalui kehadiran aktif Danantara.
Jika Indonesia ingin mewujudkan visi sebagai negara industri maju pada 2045, maka kehadiran negara di sektor-sektor strategis seperti baja tidak terhindarkan. Negara tidak cukup hanya menjadi regulator atau pemberi insentif. Negara harus tampil sebagai aktor utama yang mengarahkan, mengendalikan, dan menjamin keberlanjutan pembangunan industrinya. Dalam konteks saat ini, instrumen kelembagaan yang dapat menjalankan fungsi itu adalah Danantara.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memasukkan industri baja secara eksplisit ke dalam daftar sektor prioritas investasi Danantara. Hingga kini, belum ada indikasi bahwa sektor baja termasuk dalam portofolio strategis yang difasilitasi oleh alokasi modal negara, meskipun urgensinya sebanding dengan sektor lain seperti energi baru, hilirisasi mineral, atau digitalisasi industri. Tanpa intervensi khusus, kendali negara atas industri baja tidak akan pernah terwujud.
Langkah kedua, Danantara harus memandang investasi di industri baja bukan semata sebagai alokasi modal, melainkan sebagai instrumen rekayasa struktur industri nasional. Artinya, investasi tidak hanya diarahkan untuk ekspansi kapasitas, tetapi juga untuk membangun integrasi rantai pasok, penguasaan sumber daya bahan baku, adopsi teknologi hijau, serta peningkatan posisi Indonesia dalam rantai nilai global. Pendekatan ini membutuhkan konsolidasi lintas sektor dan sinergi antar-BUMN yang hanya dapat difasilitasi oleh entitas strategis seperti Danantara.
Langkah ketiga, pembangunan kapasitas baja nasional hingga 100 juta ton pada 2045 memerlukan investasi sekitar USD 100 miliar—angka yang jauh melampaui kapasitas pembiayaan negara melalui APBN maupun kemampuan swasta nasional. Dalam konteks ini, Danantara memiliki peran vital sebagai agregator pembiayaan jangka panjang sekaligus katalis kemitraan strategis. Dengan dukungan kelembagaan dan kepastian arah investasi, BUMN seperti Krakatau Steel dapat menjalankan ekspansi dan transformasi industri secara lebih terencana dan berkelanjutan.
Langkah keempat, dibutuhkan kerangka kebijakan yang mendukung peran strategis BUMN dalam pembangunan industri jangka panjang. Ini mencakup penataan belanja pemerintah agar menyerap baja domestik secara konsisten, kebijakan yang mendorong kolaborasi antar-BUMN dalam rantai pasok, penyediaan modal kerja dengan biaya bersaing, serta dukungan teknologi— khususnya untuk transisi menuju green steel. Pemerintah juga perlu menyiapkan insentif dan perlindungan agar pelaku industri nasional dapat bersaing untuk mempertahankan pasar domestik sekaligus bersaing di pasar global. Tanpa kerangka kebijakan yang berpihak, investasi strategis tidak akan berjalan optimal.
Langkah kelima, agar Danantara dapat menjalankan mandatnya secara efektif, diperlukan tata kelola investasi yang berpihak pada kepentingan nasional. Investasi tidak boleh didorong semata- mata oleh logika imbal hasil jangka pendek, tetapi harus mengikuti kriteria strategis yang mempertimbangkan dampak ekonomi, penguatan basis industri, serta kepentingan dan ketahanan nasional. Dalam kerangka ini, industri baja memenuhi seluruh kriteria tersebut.
Visi Indonesia Emas telah ditetapkan dan menjadi harapan seluruh bangsa Indonesia. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk mengubah visi menjadi strategi, dan strategi menjadi aksi. Danantara hadir di tengah momentum ini sebagai aktor baru yang dapat menjembatani kepentingan negara dan logika pasar. Namun dalam sektor baja—sektor yang menjadi fondasi dari seluruh industrialisasi—Danantara tidak boleh datang terlambat. Sebab jika fondasi industrinya rapuh, maka bangunan besar bernama Indonesia Emas hanya akan menjadi angan. (*)