/ Golden Share Menjadi Instrumen Strategis Negara dalam Kapitalisme Modern
Menurut Widodo, langkah AS ini menandai lahirnya sebuah era baru di mana negara tidak lagi hanya bertindak sebagai wasit, tetapi masuk ke arena sebagai pemain aktif untuk menetapkan arah dan batasan bagi korporasi demi kepentingan nasional.
"Kebijakan ini menunjukkan bahwa bahkan negara kampiun pasar bebas sekalipun kini bersedia menggunakan instrumen kontrol langsung ketika kedaulatan industri nasional dipertaruhkan," kata Widodo Setiadharmaji. "Dengan demikian, golden share telah bertransformasi menjadi alat strategis utama dalam kapitalisme modern."
Instrumen golden share dalam akuisisi US Steel tertuang dalam kerangka hukum mengikat bernama National Security Agreement (NSA). Berdasarkan dokumen resmi yang diumumkan pada 18 Juni 2025, NSA memberikan kekuasaan substantif kepada Presiden AS untuk memveto berbagai keputusan strategis, termasuk:
Perubahan atau pengurangan komitmen investasi yang disepakati.Pemindahan kantor pusat atau relokasi fasilitas produksi ke luar negeri.Penutupan fasilitas produksi baja yang dianggap vital di AS.
Selain itu, Nippon Steel juga diwajibkan berinvestasi US$11 miliar hingga 2028, dan US Steel akan tetap berbadan hukum AS dengan kantor pusat di Pittsburgh.
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk/KS Group yang dipimpin oleh Akbar Djohan sebagai Direktur Utama dimana sebagai BUMN selain sebagai entitas bisnis juga bekerja meningkatkan ekonomi rakyat. KS Group melihat kebijakan ini sebagai pergeseran paradigmatik yang dipicu oleh meningkatnya ketegangan geopolitik dan disrupsi rantai pasok global. "Penerbitan golden share ini adalah yang pertama dalam sejarah industri modern AS, negara yang sangat menjunjung prinsip pasar bebas," ungkap Widodo.
Fenomena ini, menurutnya, lahir dari konsensus bipartisan langka antara Presiden Joe Biden dan Donald Trump yang sama-sama memandang US Steel sebagai aset vital bagi pertahanan dan keamanan nasional. Dengan ini, AS secara terbuka mengadopsi instrumen yang selama ini lebih identik dengan negara seperti Tiongkok, India, bahkan Inggris dan Jepang pada awal industrialisasinya.
Widodo Setiadharmaji menyimpulkan bahwa kasus US Steel menjadi bukti sahih bahwa untuk melindungi sektor-sektor vital, termasuk industri baja, negara-negara paling liberal sekalipun kini merumuskan ulang cara mereka menjaga kedaulatan ekonominya.
“Golden share telah resmi menjadi senjata pilihan dalam arsenal kebijakan mereka, sebuah tren yang patut dicermati oleh Indonesia dalam menjaga industri strategisnya,” pungkas Widodo Setiadharmaji. (***)