/ Exalos Indonesia: Tiga Hal Penting Snake Education
Exalos Indonesia kembali menghimbau masyarakat Indonesia untuk meningkatkan minat belajar tentang hal-hal yang berkaitan dengan ular. "Karena jika tidak, ada tiga 'harga' yang harus kita bayar sebagai masyarakat negara yang hidup di tengah eksotisme sumber daya alam yang kaya raya ini. Ketiganya adalah harga mati, harga ekonomi, dan harga diri," ungkap Ketua Exalos Indonesia, Koptu (Inf.) Janu W. Widodo.
Anggota Brigade Infanteri 6 TNI AD, Jawa Tengah itu pun menjabarkan satu per satu tentang 'harga-harga' yang dia ungkapkan tersebut. Mengenai harga mati, jelas Janu, semua sudah tahu bahwa konflik ular dan manusia hingga saat ini telah menyebabkan banyak korban jiwa (lantaran ularnya berbisa tinggi). Namun lebih jauh lagi secara ekologi, belum banyak orang yang menyadarinya.
Janu mengingatkan agar jangan sampai lupa juga bahwa, korban dari sisi si ularnya sendiri, malah menimbulkan masalah baru. Kejadian belakangan ini lebih tragis lagi, dimana ada sekeluarga di Jawa Tengah tewas lantaran kesetrum perangkap tikus. Kenapa jadi perangkap tikus disalahkan? Ya, karena ular-ular sebagai predator tikus di sawah, banyak dimusnahkan. Pertanian menjadi industri besar, namun kurang diperhatikan sisi rantai makanan yang ada di sekitar.
Alhasil ular yang berbisa tinggi maupun yang tak berbisa sekalipun, disikat petani. Sehingga predator tikus hilang, tikus merajalela sebagai hama. Tidak mau ambil pusing, dipasanglah setrum untuk perangkap tikus. Korban baru pun muncul akibat kesetrum perangkap listrik.
Selanjutnya soal harga ekonomi atau dengan kata lain kerugian ekonomi dalam hidup manusia. Sudah cukup banyak yang memahami bahwa serum antibisa ular di Indonesia belum lengkap atau tidak bisa mencakup penanganan gigitan seluruh jenis ular berbisa yang terdapat di Bumi Nusantara ini. Sehingga serum antibisa yang ada, harganya bisa selangit. Satu ampul serum bahkan bisa seharga di atas Rp 2,5 juta sementara korban gigitan ular berbisa yang harus ditangani secara medis, bisa memerlukan beberapa ampul hingga pulih.
"Saya ada contoh kasus yang boleh dibilang menyedihkan sekaligus menggelikan. Yaitu tentang salah penanganan korban gigitan ular, yang bahkan dilakukan oleh tenaga medis," ungkap Janu. Ada salah satu korban gigitan ular yang pernah dibantu Exalos Indonesia dengan tujuan agar tidak berlarut-larut kepedihannya. Korbannya adalah seorang remaja yang terkena gigitan ular tikus (Coleognathus radiata).
Banyak yang keliru menganggap ular tikus adalah king cobra yang memiliki venom (bisa) mematikan. Padahal faktanya ular itu adalah pengontrol hama tikus sehingga namanya pun disebut ular tikus dan sama sekali tidak berbisa.
Korban gigitan ular ini jadi gawat karena pihak medis umumnya langsung menyuntikkan antibisa tanpa melihat ciri bekas gigitan. "Yang ada, pasien jadi harus opname karena reaksi anti venom dan satu lagi, satu kali suntik anti venom bisa Rp 2,7 juta tanpa di-cover BPJS. Padahal pasien cuma luka gigitan yang tak beda dengan dicakar kucing," ujarnya. Sehingga di situlah pentingnya snake education di masyarakat untuk menekan hal yang tidak seharusnya terjadi, "Minimal bisa mengidentifikasi jenis ular mematikan."
Dan yang terakhir mengenai harga diri. Janu mengatakan, sebenarnya hal terakhir ini adalah pilihan saja. Masyarakat Indonesia yang hidup di bentangan alam subur kawasan tropis terbaik di Asia bahkan dunia, seharusnya bisa menangani permasalahan alam sendiri, termasuk menangani ular. "Tapi justru malah program studi herpetologi yang terfokus berada di universitas di luar negeri. Seharusnya Indonesia jadi pusatnya. Dan snake handler yang ulung pun bukan dari Indonesia, tapi orang luar," tandasnya.