/ Webinar Edukasi: Obligasi Hijau dan Kredit Karbon
LindungiHutan telah menyelenggarakan webinar bertajuk "Inovasi Keuangan untuk Ekonomi Hijau – Mengadopsi Obligasi Hijau dan Kredit Karbon" pada 31 Oktober 2024. Turut mengundang Dessi Yuliana selaku CEO CarbonX dan Parlin O. W. Tambunan selaku Senior Analyst Pengembangan Carbon Trading Bursa Efek Indonesia (IDXCarbon) untuk berbagi pengetahuan tentang instrumen pembiayaan hijau dan pasar karbon Indonesia.
Dessi Yuliana menjelaskan bahwa konsep green bond atau obligasi hijau mirip dengan obligasi tradisional. Namun, obligasi hijau khusus diperuntukkan pada proyek-proyek berkelanjutan.
“Jadi sama antara obligasi tradisional sama hijau. Obligasi hijau hanya boleh dipakai untuk sektor-sektor hijau, misalnya renewable energy, untuk konservasi hutan, water management, dan lain-lain” ujar Dessi.
Seiring perkembangan waktu, obligasi hijau ini tidak hanya berfokus pada proyek hijau, tetapi digunakan juga untuk mendukung aspek Environmental, Social, and Governance (ESG) pada perusahaan.
Adanya obligasi hijau dapat meningkatkan pembiayaan hijau untuk infrastruktur dan inovasi, mendorong tanggung jawab korporat dan praktik berkelanjutan, serta menutup kesenjangan pembiayaan di pasar berkembang.
Parlin O. W. Tambunan dari IDXCarbon membahas tentang perdagangan karbon yang diatur melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 21 Tahun 2022. Peraturan tersebut menggolongkan unit karbon yang bersifat wajib allowance trading dan carbon credit. Mekanisme kredit karbon menggunakan SPE GRK (Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca) sedangkan allowance trading menggunakan PTBAE-PU (Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi.
Tujuan kredit karbon adalah membantu perusahaan untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan. Terlebih pemerintah Indonesia telah membuat peraturan penurunan emisi karbon bagi perusahaan.
“Sebenarnya sudah banyak tekanan untuk perusahaan-perusahaan melakukan penurunan emisi. Misalnya dari pemerintah yang memiliki target NDC, mulai banyak investor yang melihat perusahaan untuk investasinya. Investor ingin perusahaan-perusahaan yang peduli lingkungan,” ungkap Parlin.
Parlin juga menjelaskan bahwa perdagangan karbon di Indonesia terbagi menjadi dua jenis pasar utama, yaitu Primary Market dan Secondary Market.
Pada jenis primary market unit karbon diciptakan oleh proyek-proyek yang disetujui dan diverifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Proyek ini bisa berupa konservasi hutan, energi terbarukan, dan proyek pengurangan emisi lainnya. Sedangkan secondary market, karbon tersebut didistribusikan melalui Bursa Karbon Indonesia yang resmi diluncurkan pada 2023. Perusahaan dapat melakukan proses jual beli unit karbon sebagai bagian dari strategi pengimbangan emisi mereka melalui IDXCarbon.
Ia juga mengungkapkan bahwa bursa karbon Indonesia telah memfasilitasi transaksi karbon dengan total volume perdagangan mencapai 904.770 ton dan nilai transaksi 50 miliar rupiah.
“Untuk proyeknya saat ini ada tiga dan kebetulan sektor energi semua. Di Lahendong ini pembangkit listrik bertenaga geothermal (panas bumi), ada juga yang berbahan bakar gas bumi, dan yang terakhir ini yang pembangkit listrik bertenaga minihidro di Gunung Wugul. Saat ini total pengguna jasa atau pihak yang bisa bertransaksi di kami ada 91 pihak,” jelas Parlin.