/ Lebih dari 4.500 Mahasiswa UPN Veteran Jakarta Belajar Berpikir Kritis di Era AI
Jakarta – Sebanyak 4.582 mahasiswa baru dari seluruh fakultas Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta berkumpul secara virtual, Rabu (23/10), untuk mengikuti webinar Critical Thinking dalam rangkaian acara PROSPEKTIV 2025. Sesi ini dibawakan oleh pemateri Jaka Arya Pradana, founder dan CEO sebuah agentic AI startup.
"Di era AI sekarang, kita sering bertanya pada AI tanpa crosscheck kebenarannya. Padahal jawaban AI belum tentu akurat," ujar Jaka membuka sesi. Pernyataan sederhana itu langsung menyentuh realitas mahasiswa yang tumbuh di era ChatGPT.
Ia kemudian memberikan contoh mengejutkan: sebuah penelitian MIT Media Lab yang viral dengan headline media "Menggunakan ChatGPT bikin lebih bodoh." Sebagai critical thinker, Jaka mengajak mahasiswa untuk tidak langsung percaya. "Kita perlu cek: seperti apa metode penelitiannya? Apa yang dimaksud 'lebih bodoh'?"
Ternyata, penelitian oleh Dr. Nataliya Kosmyna berjudul "Your Brain on ChatGPT" melibatkan 54 mahasiswa yang dibagi tiga kelompok: menulis esai dengan otak saja, dengan Google, dan dengan ChatGPT. Kelompok ChatGPT menunjukkan aktivitas otak paling lemah.
"Tapi ini bukan berarti ChatGPT membuat bodoh. Ini berarti penggunaan AI tanpa critical thinking membuat otak kita pasif," jelas pria yang memiliki lebih dari 13 tahun pengalaman mengembangkan sistem AI berskala enterprise ini. "Yang penting bukan menghindari AI, tapi menggunakan AI dengan bijak."
Jaka mengajak mahasiswa bermain detektif logika. Argumen pertama: "Lulusan universitas ternama pasti sukses. Jadi kalau mau sukses, harus masuk universitas ternama."
Melalui polling, mayoritas mahasiswa menganggap argumen itu cacat. Intuisi mereka ternyata tepat. Setelah dibedah menggunakan Paul-Elder Critical Thinking Framework, terungkap logical fallacy "Correlation ≠ Causation". "Memang benar banyak lulusan universitas ternama yang sukses. Tapi apakah karena mereka dari universitas ternama? Atau karena faktor lain seperti kerja keras, networking, atau skill?"
Argumen kedua lebih menohok: "Tidak perlu belajar matematika karena ada AI dan kalkulator." Setelah dianalisis, terungkap argumen ini mengandung asumsi tersembunyi dan logical fallacy "False Dilemma". "Matematika bukan cuma tentang hitung-hitungan. Matematika melatih cara berpikir untuk solve complex problems dan analyze patterns," terang mantan AVP AI Product Management di Indosat ini.
Di tengah sesi, seorang mahasiswa UPN Veteran Jakarta bertanya: "Banyak orang percaya berpikir kritis artinya menentang atau mengkritisi berlebihan. Bagaimana menyeimbangkannya?"
Jaka menjawab, "Inti dari berpikir kritis adalah berpikir jernih dan rasional. Dalam argumen bisa jadi tidak semuanya salah – bisa jadi ada yang benar, bahkan solid. Jika argumennya solid, harus kita terima. Bila ada yang benar, apresiasi dulu baru kritisi dengan santun dan elegan. Terkadang problemnya bukan pada isinya, tapi cara menyampaikannya."
Pertanyaan kedua dari seorang mahasiswi UPN Veteran Jakarta, "Mengapa kemampuan berpikir kritis lebih penting daripada pelajaran mata kuliah?"
Mantan Lead Data Scientist di Telkom ini merespons dengan perspektif praktis: "Keduanya penting. Di awal-awal saya bekerja, pelajaran kuliah sangat terpakai. Tapi berpikir kritis juga penting karena kita harus membuat argumen yang jernih dan rasional agar diterima stakeholder, seperti atasan, rekan kerja, partner, maupun klien. Critical thinking juga memperkuat kemampuan problem solving untuk menyelesaikan berbagai tantangan di dunia kerja."
Deangan latar belakangnya yang telah membantu puluhan perusahaan mengimplementasikan AI dari nol sampai implementasi dan operasional, Jaka memberikan perspektif unik kepada para mahasiswa. Pria yang dapat dihubungi melalui LinkedIn ini tidak hanya berbicara dari teori, tetapi dari pengalaman langsung membangun dan mengimplementasikan solusi AI.
"Yang terpenting bagaimana manusia menggunakannya dengan bijak. Di dunia kerja, AI bisa kasih data, tapi kalian yang harus evaluate: apakah data ini akurat? Apakah kesimpulan ini logis? Apakah ada perspektif lain?"
Meski dihadiri ribuan peserta, Jaka yang juga Jakarta City Lead di Buildclub.ai, komunitas para AI builder di seluruh dunia ini, berhasil menciptakan suasana interaktif. Ia juga membahas berbagai jenis cognitive bias dan logical fallacy dalam webinar tersebut.
Di penghujung sesi, Jaka meninggalkan pesan resonan, "Critical thinking bukan tentang jadi orang yang skeptis terhadap segalanya atau selalu debat. Critical thinking adalah tentang kebebasan. Ketika kalian bisa berpikir kritis, kalian tidak lagi menjadi budak dari opini orang lain, manipulasi media, tekanan sosial, informasi yang salah, dan keputusan yang buruk."
Ia menutup dengan tiga tantangan, yaitu selalu bertanya, selalu verifikasi, dan selalu refleksi.
Antusiasme yang terlihat dari aktifnya chat, polling, dan diskusi menunjukkan bahwa critical thinking bukan sekadar topik akademis. Di era AI yang dipenuhi informasi dari berbagai sumber, kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional menjadi semakin krusial.
Ketika webinar berakhir, ribuan mahasiswa UPN Veteran Jakarta itu tidak hanya membawa pengetahuan tentang Critical Thinking Framework, Cognitive Bias dan Logical Fallacies. Mereka membawa kesadaran bahwa pikiran mereka adalah milik mereka sendiri, dan mereka punya kuasa untuk memilih bagaimana menggunakannya.